Pabrik di Pinggir Laut

CERPEN SUNARYO BROTO

Demikian seterusnya pabrik dioperasikan terus. Keringat para operator dan manajemen pabrik berleleran. Dilingkupi hawa panas Khatulistiwa. Mungkin juga air mata rindu pada kampung halaman. Setahun sekali mereka boleh cuti menengok keluarga dan kampung halaman. Berkat semangat dan kegigihan para pekerja maka satu demi satu masalah pabrik dapat diatasi.

Akhirnya semua usaha menampakkan hasilnya. Produksi pertama amoniak pada 30 Desember 1983 disambut suka cita. Bertahun-tahun mereka merindukan menetesnya amoniak dari pabrik itu. Zat amoniak ini berbau seperti air kencing dan beracun tetapi banyak kegunaannya.

Baunya –maaf- seperti di toilet terminal yang paling jorok se-Indonesia masih ribuan kali lipat lagi baunya. Namun kondisi operasi pabrik masih belum stabil dan pabrik masih sering mati. Waktu mengoperasikan pabrik juga sering terjadi black out, matinya seluruh listrik.

Dengan black out yang paling menjadi ancaman adalah compressor pendingin di tangki amoniak. Kalau tangkai amoniak tidak didinginkan bisa meledak dan seluruh Bontang bisa keracunan. Kalau listrik mati mereka harus mengamankan sistem pendingin di tangki amoniak.

Setelah menghasilkan amoniak lalu dikirim sebagai bahan baku urea dan mulai start up pabrik urea. Pabrik urea mengalami hal yang sama dengan pabrik amoniak. Perlu waktu lama untuk trial and error, start up dan mengoperasikan pabrik.

Ada saja masalah yang harus ditangani. Juga masalah lain yang perlu dicarikan jalan keluar. Kadang tidak hanya masalah teknis tetapi juga menyangkut manusia dan lainnya. Setelah melewati berbagai cobaan, pabrik urea dapat berproduksi perdana pada 15 April 1984.

Lihat juga...