Pabrik di Pinggir Laut

CERPEN SUNARYO BROTO

SESEKALI menengok masa lalu. Bayangkan Bontang tahun 1974. Masih kecamatan. Belum ada jalan aspal panjang. Jalan tanah merah berdebu. Penduduknya baru 11.000 an. Kilang gas alam cair mulai dibangun. Proyek Pabrik Pupuk Terapung baru setahun diluncurkan. Waktu merambat pelan.

Pada awal tahun 1977, seorang pria tinggi besar bersama seniornya, JS ke Bontang. Dari Jakarta, mereka naik pesawat mendarat di Sepinggan Airport Balikpapan. Kemudian naik pesawat kecil Sky-Van ke Airport Bontang. Mereka dijemput lalu keluar melalui jalan hutan, logging road ke arah barat beberapa kilometer balik ke timur, kemudian lewat jalan pipa ke suatu tempat di pinggir laut, plant site, lokasi pabrik. Jaraknya sekitar 17 km.

Pria tinggi besar yang berusia 40 tahun, Danang menerawang. Dia sudah berpengalaman dalam beberapa proyek pembangunan infrastruktur dan pabrik di pabrik pupuk. Sudah bepergian ke beberapa negara dengan berbagai kepentingan.

Bahkan tinggal di Kanada beberapa tahun untuk kuliah master seusai kuliah di Teknik Mesin sebuah universitas bergengsi di Bandung.

“Proyek ini lumayan berat,” gumamnya. Kata seniornya, bisa puluhan kali beratnya dengan proyek sejenis. Ya, belum lama negara menugaskan dia bersama seniornya, menyelesaikan proyek pupuk terapung dan memulai pembangunan pabrik pupuk baru yang harus siap sebelum tanggal pendiriannya 7 Desember 1977.

Dia melihat onggokan tanah merah di pinggir laut dan ribuan besi piling berserakan. Beberapa ada genangan air bekas hujan. Di lapangan terlihat beratus-ratus, mungkin sampai ribuan pipa-pipa ukuran diameter lebih dari 50 cm.

Pipa-pipa ini kemudian hari dipakai untuk piling fondasi-fondasi pabrik pupuk yang dibangun dan lain-lain. Matahari garang meradang. Udara panas menyengat. Ya ini daerah Khatulistiwa, jarak terdekat matahari-bumi.

Lihat juga...