Sultan dan Raja Nusantara Terikat Doa Nabi Ibrahim

Ini menunjukkan kewenangan administratif tidak otomatis membangkitkan legitimasi moral. Legitimasi hidup ketika raja mampu memenuhi amanah nilai. Problem kemiskinan Yogyakarta bukan untuk menghakimi. Tetapi memperlihatkan tantangan besar: bagaimana menerjemahkan modal budaya yang besar menjadi perlindungan efektif bagi rakyat.

Keraton meredup karena gagal memperbarui kontrak sosialnya. Teori legitimasi Weber: otoritas tradisional bertahan hanya jika ia mampu dirutinisasikan kembali dalam konteks baru. Teori Bourdieu: modal simbolik hanya bernilai bila dikonversi menjadi modal sosial yang dirasakan manfaatnya.

Dalam kerangka janji Nabi Ibrahim, kepemimpinan hanya berlaku bagi mereka yang menegakkan keadilan. Bila keadilan dan nilai transendensi tidak diperjuangkan—maka raja ataupun sultan kehilangan kedudukan dalam hati rakyat.

Hanya tersisa ritual, museum, dan bayangan identitas. Keraton yang secara fisik megah, tetapi secara sosial hampa. Secara ritual hidup, tetapi secara moral mati.

Ketika Kraton atau Kasultanan mampu menjadi penegak dan pejuang keadilan bagi ketertidasan pada rakyatnya, maka janji Ibrahim itu hidup. Ketika tidak, ia padam. Ini sejalan dengan kajian antropologi politik. Bahwa masyarakat lokal tetap merindukan figur moral yang bisa mereka jadikan rujukan. Bukan sekadar pejabat administratif.

Masa depan kasultanan dan keraton Nusantara tidak ditentukan oleh silsilah, gelar, atau ritual. Tetapi oleh kemampuan mereka menjawab tugas moral yang melekat sejak awal keberadaan mereka. Menjadi senopati yang melindungi dan panatagama yang menata nilai.

Itulah esensi amanah kepemimpinan dalam tradisi Nusantara dan dalam janji suci Ibrahim. Jika amanah itu ditegakkan, keraton kembali tegak. Jika tidak, keraton tinggal nama. Mungkin begitu.

Lihat juga...