Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 02r/12/2025
Kerinduan atas kebangkitan Nusantara —kerap dikaitkan kejayaan Sriwijaya, Majapahit, ataupun Mataram kuno— bukan sekadar nostalgia romantis. Kerinduan itu merupakan pencarian esensi energi peradaban yang pernah menjadikan kepulauan ini aktor penting sejarah regional dan global.
Untuk membaca dinamika kebangkitan peradaban, teori-teori besar seperti Arnold Toynbee (challenge and response), Ibn Khaldun (ʿasabiyyah, solidaritas sosial, dan siklus peradaban), serta Samuel Huntington (civilizational identity) memberi kerangka konseptual yang kuat. Berdasarkan warisan sejarah dan teori tersebut, kebangkitan Nusantara dapat dirumuskan melalui tiga pilar. Kesadaran sebagai peradaban independent. Fondasi spiritual ber-Tuhan. Pembangunan subsistem ilmu–ekonomi–kenegaraan.
Pertama: kesadaran Nusantara sebagai entitas peradaban independen.
Teori peradaban mengajarkan kebangkitan selalu dimulai dari kesadaran diri kolektif. Huntington menyebutnya sebagai civilizational confidence. Kepercayaan bahwa suatu masyarakat merupakan peradaban utuh. Bukan pinggiran dari peradaban lain. Toynbee pun menegaskan: suatu peradaban bangkit ketika mampu menjawab tantangan secara kreatif. Bukan pasif.
Sejarah menunjukkan Nusantara memiliki karakter peradaban independen yang matang. Sriwijaya (abad 7–14) bukan hanya kerajaan maritim. Tetapi pusat pembelajaran internasional. Itu disebut dalam catatan I-Tsing.
Majapahit (abad 13–15) membangun struktur politik kepulauan dan menyusun konsepsi geopolitik “Nusantara”. Kemudian diwariskan dalam tradisi negara-bangsa modern.