Pukul lima sore, usai berkemas, mama sudah mengajakku pulang. Kali ini wajahnya lebih dingin dibandingkan tadi pagi. Perasaanku tidak enak. Aku mengikuti mama dari belakang, dan benar saja.
Sampai rumah aku dihajar lagi. Lebih keras. Lebih banyak jeweran, benturan kepala dengan dinding, bahkan sapu lantai pun juga dipakai menyiksaku. Kesakitan itu membuatku tak lupa apa alasanku meletakkan celana dalam mama ke dalam panci sup.
Badanku terasa remuk. Itu hari paling menyakitkan dalam hidupku. Sambil menahan sakit, aku mendengar bisik-bisik obrolan antara papa dan mama. Tapi, aku tak bisa mendengar kata-kata mereka dengan jelas.
Tiba-tiba saja papa mengajakku jalan-jalan. Tidak biasanya papa mau mengajakku jalan-jalan. Yang ganjil sebelum papa mengajakku pergi, mama memelukku erat sambil menangis. Dan sebelumnya mama menggosok luka di sekujur tubuhku dengan menangis.
Sebelum aku pergi, kali ini ia yang menangis meraung-raung sembari menciumiku dan meminta maaf berkali-kali. Maaf untuk apa? Aku baru mengetahuinya kemudian.
Aku tahan perasaanku meski aku agak bingung dengan situasi itu. Setelah itu, papa membawaku pergi naik motor. Ia berhenti di sebuah rumah besar.
Kulihat papa berbincang dengan dua orang suami istri. Malam itu juga aku menangis meraung-raung minta pulang ikut papa. Tapi, papa pergi begitu saja meninggalkan aku bersama dua orang asing yang kemudian minta dipanggil ayah dan ibu.
Sejak saat itu aku tak tahu punya mama lagi atau tidak. Karena yang ada di sini hanya sup ayam dan rahasia di baliknya. ***
Citra D. Vresti Trisna, penulis asal Surabaya. Buku terbarunya Catatan Masyarakat Goa. Kini menjadi jurnalis di Jakarta dan menulis lepas di beberapa media. Puisi, cerpen dan esainya telah terbit di beberapa media lokal dan nasional.