Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 12/12/2025
Candi-candi di Nusantara bukan sekadar benda purbakala yang berdiri diam di balik waktu. Ia warisan peradaban kerajaan-kerajaan Nusantara dan masyarakatnya. Dibangun sebagai tempat ibadah resmi kerajaan dan rakyat dalam satu kesatuan kosmologi spiritual.
Candi pada hakikatnya bukan milik agama tertentu. Melainkan milik budaya dan masyarakat yang hidup pada masa itu. Beserta keturunannya yang meneruskan kehidupan di wilayah tersebut.
Secara teoretik, posisi ini didukung kajian antropologi politik—khususnya teori “ritual sovereignty”. Teori itu menegaskan pada masyarakat pra-modern, bangunan suci adalah milik kerajaan sebagai pusat otoritas. Bukan milik organisasi agama formal. Karena institusi agama modern belum terbentuk.
Candi adalah ruang spiritual negara dan masyarakat. Bukan institusi agama tertentu dalam pengertian kontemporer.
Dalam tradisi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, Candi dibangun bukan sebagai “rumah ibadah agama formal” seperti pura pada masa kini. Melainkan sebagai tempat ibadah kerajaan, tempat ritual kenegaraan, pemujaan terhadap Tuhan. Penghubung dunia ilahi, dan pusat kegiatan spiritual masyarakat. Candi adalah bagian dari struktur kekuasaan dan kehidupan sosial. Mencerminkan keyakinan raja, bangsawan, dan rakyat yang hidup di masa itu.
Pada abad-abad kejayaan Mataram Kuno, Singhasari, Majapahit, Galuh-Pajajaran, dan kerajaan lainnya, candi adalah tempat menjalankan ritual suci kerajaan. Ia dibangun raja dan diperuntukkan bagi masyarakat dalam radius pengaruhnya. Candi adalah milik politik dan budaya. Bukan milik agama dalam pengertian modern.