Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 06/12/2025
Kasultanan dan keraton Nusantara kini berdiri dalam situasi paradoks. Pada satu sisi, mereka pusat identitas, warisan sejarah, dan simbol kebesaran masa lalu. Pada sisi lain, banyak di antaranya meredup, kehilangan wibawa, dan bahkan kehilangan relevansi sosial.
Menurut Yayasan Raja Sultan Nusantara (Yarasutra) jumlah kasultanan dan kraton itu mencapai 179 entitas. Menurut Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN) sebanyak 200 kesultanan/keraton. Data sejarawan memperkirakan bila kerajaan-kerajaan kecil yang tidak lagi eksis ikut dihitung, jumlah entitas politik tradisional di Nusantara pada abad ke-16 mencapai lebih 300 unit kedaulatan lokal.
Artinya, hanya separuh berhasil menyisakan struktur kebudayaan hingga hari ini. Itupun tidak semuanya bertahan dengan vitalitas sosial yang nyata.
Secara historis, raja dan sultan bukan sekadar pemilik gelar turun-temurun. Mereka adalah pemegang amanah sosial dan spiritual yang ditautkan pada janji suci. Baik melalui adat Nusantara maupun melalui tradisi Abrahamik yang berpadu dalam narasi genealogis Jawa.
Sebagai contoh: gelar raja Mataram Islam memuat dua identitas normatif. Pertama, Senopati ing Alaga: pemimpin perjuangan melindungi rakyat dari segala ancaman. Kedua, Sayidin Panatagama: penata kehidupan moral dan agama bagi masyarakat.
Keduanya bukan sekadar ornamen linguistik. Melainkan janji peran yang mengikat raja dengan rakyatnya dalam sebuah kontrak sosial spiritual.
Dalam konteks masa kini ketika raja-sultan tidak lagi memiliki kewenangan eksekutorial pemerintahan, dua peran ini pun tetap relevan. Bahkan lebih penting. Sebagai sumber legitimasi moral.