Sultan dan Raja Nusantara Terikat Doa Nabi Ibrahim

Senopati ing Alaga dapat ditafsirkan ulang sebagai pemimpin perjuangan melawan “musuh” modern: kemiskinan, ketidakadilan, marjinalisasi, krisis nilai, dan kerusakan moral. Sayidin Panatagama menuntut peran raja sebagai penjaga nilai, adab, dan spiritualitas masyarakatnya. Terutama ketika masyarakat modern mengalami fragmentasi identitas dan tekanan globalisasi.

Fokus esensialnya: ketika peran dijalankan, legitimasi hidup. Ketika ditinggalkan, legitimasi padam.

Konsep legitimasi ini bukan sekadar moral abstrak. Ia dapat dibuktikan secara empiris dalam banyak kasus kerajaan Nusantara yang bertahan hingga kini. Kesultanan Yogyakarta mampu tetap dihormati karena di mata sebagian masyarakat, Sultan dianggap menjalankan sebagian fungsi perlindungan nilai.

Sebaliknya, keraton-keraton yang dilanda konflik internal perebutan takhta, atau yang tidak memberi kontribusi nyata pada masyarakat, mengalami penurunan otoritas sosial. Survei persepsi publik menunjukkan generasi muda hanya mengenal keraton sebagai situs wisata. Bukan sumber nilai atau pemimpin kultural. Ketika kontrak sosial tidak hadir, status keturunan tidak lagi memiliki makna sosial.

Pada titik ini janji Allah Swt., terhadap doa Nabi Ibrahim menjadi pusat pemaknaan nasib keraton hari ini. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 124, ketika Nabi Ibrahim diuji dan lulus, Allah Swt berfirman ia akan dijadikan pemimpin bagi manusia. Ibrahim bertanya, apakah keturunannya juga mendapat janji itu.

Jawabannya tegas: “Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.” Tafsir klasik seperti Al-Tabari dan Al-Qurthubi menekankan kepemimpinan adalah amanah bersyarat. Ia diwariskan bukan berdasarkan darah semata, tetapi berdasarkan kualitas moral dan keadilan.

Lihat juga...