Satgas Nasional Anti Hoaks  

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 14/12/2025

 

 

Hoaks bukan sekadar gangguan kecil dalam ruang digital. Ia berkembang menjadi ancaman serius bagi ketahanan sosial, kepercayaan publik, dan kualitas peradaban bangsa.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai konten hoaks—mulai isu bencana, kesehatan, hingga politik—terus beredar luas dan berulang. Klarifikasi sering diberikan. Hoaks tetap saja muncul kembali dengan pola yang sama, aktor berbeda. Dampaknya tidak jarang meresahkan masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan hal penting: pendekatan yang ada saat ini belum cukup. Contoh: beredarnya video dengan narasi banyak warga Aceh Tamiang ditemukan meninggal dalam mobil akibat bencana.  Video menyebar luas, menimbulkan kepanikan dan kesedihan publik. Setelah diverifikasi, videonya tidak berasal dari Aceh Tamiang. Tidak terkait peristiwa bencana dimaksud.

Kasus semacam ini bukan peristiwa Tunggal. Melainkan pola berulang dalam berbagai isu bencana di Indonesia.

Secara normatif, Indonesia telah memiliki payung hukum untuk menindak hoaks. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta ketentuan lain dalam KUHP menyediakan dasar hukum untuk menjerat penyebaran berita bohong.

Masalah utama bukan terletak pada ketiadaan hukum. Melainkan pada sifatnya masih sektoral, reaktif, dan tersebar di berbagai institusi. Penanganan hoaks berjalan parsial. Bergantung pada laporan, momentum, atau konteks tertentu. Seperti momen pemilu dan isu politik strategis.

Tim atau satuan kerja yang ada saat ini umumnya bersifat pasif. Bergerak setelah hoaks viral. Setelah masyarakat resah. Setelah dampak sosial terlanjur terjadi.

Lihat juga...