Sultan dan Raja Nusantara Terikat Doa Nabi Ibrahim

Tafsir modern seperti Sayyid Qutb dan Thabathabai memperluas makna zalim. Termasuk kezaliman dalam bentuk kelalaian terhadap amanah sosial. Kepemimpinan surut bukan karena diambil negara, melainkan karena ditinggalkan oleh moral pemegangnya.

Kepemimpinan bukan hak biologis, tetapi amanah moral yang bersyarat. Keturunan Ibrahim pun kehilangan janji ketika berbuat zalim. Bagaimana mungkin raja atau sultan di Nusantara—yang dalam tradisi Jawa digambarkan sebagai keturunan garis Ismail (garis perempuan) melalui narasi Ronggowarsito—dapat mengklaim legitimasi bila mengabaikan amanah yang melekat pada gelarnya?

Zalim dalam konteks kepemimpinan tradisional bukan hanya kekerasan atau tirani. Bentuk paling nyata adalah ketiadaan peran. Zalim adalah ketika raja tidak lagi menjadi pelindung bagi tertindas.
Zalim adalah ketika panatagama tidak lagi menghadirkan nilai-nilai transenden dalam budaya masyarakat. Zalim adalah ketika keraton hanya merawat simbol, tetapi tidak menghadirkan makna.

Akibatnya sesuai janji suci itu: legitimasi dicabut oleh sejarah dan masyarakatnya sendiri. Tidak mengherankan bila banyak keraton kini hanya menjadi monumen, museum hidup, atau panggung upacara tahunan.

Ketika suatu institusi kehilangan fungsi sosialnya, kekuatan simboliknya ikut pudar. Banyak keraton pada awal abad 20 masih memimpin komunitas adat besar, kini hanya mempertahankan sedikit upacara simbolik. Tanpa pengaruh sosial berarti.

Inilah akar mengapa banyak keraton redup. Bukan semata negara modern menghilangkan kewenangan eksekutif. Bahkan di tempat di mana kewenangan diberi ruang—seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Sultan sebagai gubernur—kemiskinan struktural tetap hadir. Data BPS beberapa tahun terakhir menunjukkan Yogyakarta pada tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa.

Lihat juga...