Candi dan Pergeseran Tata Cara Ibadah  

Candi adalah tempat ibadah leluhur Nusantara. Titik temu kosmologi dan politik Kerajaan. Candi menjadi warisan budaya seluruh bangsa. Termasuk masyarakat lokal yang beragama berbeda dari nenek moyangnya.

Dalam konteks kekinian, candi dapat menjadi ruang edukasi, pemujaan, seremoni budaya, sekaligus ruang refleksi spiritual. Selama menjaga kelestarian cagar budaya.

Dalam teori pelestarian budaya, hal ini sesuai dengan konsep “living heritage”. Bahwa situs budaya tidak boleh diperlakukan sebagai benda mati. Tetapi harus tetap hidup bersama masyarakatnya, termasuk secara spiritual.

Bisa disimpulkan Candi adalah ruang ibadah masa lalu. Dibangun kerajaan dan masyarakat Nusantara. Ia bukan milik agama tertentu, melainkan bagian dari budaya dan sejarah bangsa. Secara teoretik maupun historis, Candi adalah ruang sakral sosial-politik Kerajaan. Bukan rumah ibadah eksklusif sebagaimana konsep agama modern.

Candi sebagai ruang spiritual milik kerajaan dan masyarakatnya. Sehingga kegiatan budaya atau spiritual masyarakat lokal tetap memiliki legitimasi sosial dan sejarah.

Ketika raja dan rakyat berubah tata cara ibadahnya, penggunaan candi sebagai ruang spiritual menurut keyakinan mereka yang baru adalah sah dan wajar. Selaras dengan sejarah panjang bangsa ini.

Penolakan terhadap kegiatan spiritual masyarakat — seperti sholawatan di Prambanan — tidak seharusnya terjadi. Candi adalah ruang leluhur, milik masyarakatnya, dan warisan budaya bangsa yang harus dihormati bersama. Ia tempat yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sekaligus ruang yang mengandung nilai spiritual universal yang tidak boleh dimonopoli satu agama tertentu.

Lihat juga...