Candi dan Pergeseran Tata Cara Ibadah  

Justifikasi ini selaras teori arkeologi negara klasik (misalnya model yang dikemukakan Renfrew & Cherry). Melihat bangunan monumental sebagai simbol kedaulatan, legitimasi kekuasaan, dan ruang berkumpul spiritual masyarakat. Bukan sebagai properti keagamaan eksklusif.

Ketika raja beragama tertentu, tata cara ibadah kerajaan mengikuti agama raja tersebut. Bila pengaruh Buddhisme dominan, ritual Buddhis terasa kuat. Bila Śiwaisme atau Hindu Jawa berpengaruh, arsitektur dan ritualnya menyesuaikan. Semuanya tetap dalam koridor budaya Jawa dan Nusantara yang bersifat sinkretik dan plural. Tercermin dalam prinsip kuno Bhinneka Tunggal Ika yang menekankan kesatuan dalam perbedaan.

Karenanya Candi bukan milik eksklusif salah satu agama. Ia tidak pernah dibangun dalam konteks agama modern yang terpisah seperti hari ini. Ia dibangun dalam konteks kerajaan, budaya, dan masyarakat.

Ketika kerajaan-kerajaan Nusantara memasuki fase Islamisasi pada abad ke-14 sampai ke-16, raja-raja Jawa, Sunda, dan wilayah lain memeluk Islam. Masyarakat pun berubah keyakinannya secara bertahap. Perubahan tata cara ibadah ini sah dan wajar, bagian dari perjalanan sejarah bangsa.

Secara teoretik, bisa dijelaskan oleh teori kontinuitas kebudayaan dalam antropologi. Bahwa ruang budaya dan ruang suci tetap milik masyarakat meskipun sistem kepercayaannya berubah. Pergantian agama tidak menghapus hak masyarakat atas ruang leluhurnya.

Candi dibangun sebagai tempat ritual masyarakat dan kerajaan. Bukan tempat ibadah agama tertentu. Maka ketika masyarakat berubah keyakinan, tidak ada larangan historis maupun filosofis bagi mereka tetap menggunakan candi sebagai ruang spiritual sesuai tata cara ibadahnya yang baru. Mereka pewaris sah ruang itu.

Lihat juga...