Candi dan Pergeseran Tata Cara Ibadah  

Ini dikarenakan Candi dibangun oleh raja-raja Nusantara, bukan oleh lembaga agama modern. Candi dibangun untuk masyarakat di wilayahnya, bukan untuk kelompok eksklusif tertentu. Keturunan masyarakat itu masih hidup hingga sekarang, meskipun tata cara ibadahnya berubah.

Dari perspektif teori budaya, selaras dengan konsep “ritual adaptation”. Ialah perubahan tata cara ibadah sesuai dinamika masyarakat tanpa kehilangan hubungan dengan ruang sakral leluhur.

Beberapa waktu lalu muncul penolakan kegiatan sholawatan di kompleks Candi Prambanan. Alasannya Prambanan adalah “candi Hindu”. Karena itu tidak boleh dipakai masyarakat non-Hindu. Pandangan seperti ini lahir dari kesalahpahaman terhadap fungsi historis candi.

Prambanan memang memiliki bentuk pemujaan Śiwa pada masa pembangunannya. Tetapi itu tidak menjadikan candi sebagai rumah ibadah eksklusif agama Hindu modern. Ia adalah bangunan kerajaan Mataram Kuna. Pada masa ketika agama dan budaya tidak terpisah secara rigid seperti sekarang.

Secara teoretik, kesalahpahaman ini muncul karena menerapkan model agama modern ke struktur keagamaan masa klasik. Padahal, dalam teori sejarah agama, agama pada masa pra-modern bersifat cultural religion, bukan institutional religion. Karena itu tidak ada “kepemilikan agama” terhadap candi.

Menolak masyarakat lokal beribadah di ruang yang secara historis merupakan bagian dari warisan leluhur mereka sendiri adalah tindakan yang secara budaya kurang tepat. Itu sama saja memutus hubungan masyarakat dengan sejarahnya sendiri. Candi bukan pura. Candi bukan klenteng. Candi bukan gereja. Candi bukan masjid.

Lihat juga...