Mama dan papa tak pernah tahu, aku bungkam karena mereka. Pertengkaran mereka berdua yang setiap hari kudengar itulah yang membuat aku bungkam. Ini adalah protesku sebagai anak.
Dulu aku memang sekolah, tapi berhenti. Dua tahun lalu aku menangis meraung-raung di sekolah minta pulang dan tak mau sekolah lagi. Mama sendiri kehabisan cara membujukku agar mau sekolah lagi, tapi nihil. Dan papa, tentu saja lebih senang aku tak sekolah, karena hanya akan merepotkannya.
Mungkin karena sudah berjanji memberi pelajaran padaku, mama mencariku ke kamar. Apa yang kulakukan dianggap sudah kelewatan dan perlu diberi pelajaran.
Sebenarnya, mama tidak keberatan bila anaknya bersikap selayaknya anak keterbelakangan mental, tapi tidak bisa ditoleransi kalau sudah merusak barang-barang.
Tak mendapatiku di kamar, mama berjalan ke kamarnya sendiri. Kulihat mata mama terkesiap melihat baju-baju yang sebelumnya tertata rapi di lemari kini berantakan.
Ia melihat beberapa baju robek bekas digunting. Lalu matanya tertuju pada sebuah baju tidur mini warna merah pemberian suaminya: tali di bahunya putus dan bagian pinggang ada sobekan kasar gunting membentuk segi empat.
Pemandangan kamar membuat kemarahan mama sampai di ubun-ubun. Ia berjalan lebih cepat ke arahku dan menjewerku. Aku diseret hingga ke gerobak sup.
”Mah, nanti aku jadi desainer, yah?” Kataku.
”Ya Tuhan!!! Kau apakan itu baju mama di kamar. Kalau sampai papamu tahu… Kau mau kita diusir, hah?” Bentak mama sambil mencubit punggung, dan menjewer kuping bergantian. ”Kau boleh bodoh, tapi jangan merusak!”
”Ampun Mah, ampun,” Aku memelas.
”Perancang baju kepalamu. Otakmu itu kamu rancang yang baik agar tidak jadi anak setan! Siapa yang mengajari kamu seperti ini?”