Aku tak menjawab omelan mama. Yang aku tahu, rasa takutku mendorongku menangis makin kencang mengiba-iba. Tangisku yang makin lama makin melengking dan serak membuatnya makin murka. Mungkin juga ia merasa ngeri membayangkan omelan papa padanya.
Aku hafal kebiasaan di rumah ini. Bila sore hari keduanya tidak bertengkar, maka papa akan jadi pria yang baik: menciumi mama, dan membantu mama mengupas bumbu. Kalau sudah begitu, pada malam harinya mama selalu memakai baju tidur pemberian papa.
Kini baju tidur itu telah koyak-koyak dan mama makin gelap mata padaku. Sambil menjambak rambutku, kepalaku diayunkan hingga mengenai kayu pendorong gerobak. Aku roboh tak sadarkan diri.
Setelah aku siuman, seperti biasa mama mengajakku membuka lapak. Meski aku tak membantu dan hanya duduk-duduk saja, tapi aku selalu diajak. Mama tak tega meninggalkan aku sendiri di rumah tanpa pengawasan. Ia tak percaya pada papa.
Rasa kalut itu masih terlihat di wajah mama. Mungkin mama masih memikirkan baju tidurnya yang sudah acakadut. Tapi, perlahan rasa suntuk itu hilang berganti sumringah lantaran semakin banyak pembeli yang datang.
Mama kerap terheran-heran sendiri mengapa sup yang ia jual makin banyak pembeli. Belum sampai tengah hari dagangannya sudah hampir habis. Sambil melihat apakah supnya masih tersisa untuk beberapa orang pelanggan yang mengantre.
Sambil mengaduk kuah di dasar panci, centong kuah tersangkut pada sebuah benda warna merah darah. Ia tahu, itu celana dalam pemberian papa. Setelah tahu di dalam sup ayam ada celana dalam, mama buru-buru mengambil tutup panci.
Keringat dingin mengalir hingga ke dagunya. Ia takut ada pembeli yang melihat apa yang ada di dalam panci supnya.