Kata-kata terakhir membatalkan spekulasi soal rahasia di balik kelezatan sup Jeng Rini.
Hal semacam itu sering kudengar, tapi hanya kasak-kusuk. Tak berani terang-terangan di depan warung Jeng Rini. Konon mereka takut dengan Jeng Rini.
Spekulasi soal rahasia di balik sup Jeng Rini hanya kusimpan sendiri. Tak kubagi ke orang lain. Bungkamnya aku soal rahasia di balik kenikmatan sup Jeng Rini membuat orang lain menilaiku sebagai pembual.
Biar saja! Itu tak akan mempengaruhiku. Pokoknya hanya aku yang tahu rahasianya. Bagiku, datang dan makan sup ayam Jeng Rini itu seperti berziarah ke masa silam dan mengobati rindu di masa sekarang.
Sambil menunggu sup ayam saya datang, dua pasangan Tionghoa juga berspekulasi.
”Sup ayam Jeng Rini enak karena keringat penjualnya menetes di sana,” kata seorang pria Tionghoa bertopi biru yang makan di depan saya.
”Kalau itu benar, kamu tidak jijik?” kata seorang perempuan di sebelahnya.
”Ah, tidak. Justru di situ seninya. Memasak itu perlu dihayati. Bagian dari diri kita harus menyatu. Kau tahu bagaimana arak dibuat. Keringat buruh rendahan itulah yang membuat enak.” Jelasnya.
Ada yang lebih aneh lagi soal rahasia kenikmatan sup ayam Jeng Rini. Kenikmatan yang memanjakan lidah berasal dari ludah pocong pesugihan yang ada di warung.
Konon hanya orang yang imannya tinggi saja yang mampu melihat. Pocong itu berkeliling ke masing-masing meja dan meludahi sup ayam. Ada juga yang bilang kalau pocong itu berdiri di sebelah Jeng Rini.
”Awak berani sumpah, sup Jeng Rini diludahi pocong!” Kata seorang tukang parkir meyakinkan kawannya yang datang dari jauh ingin mencoba kedahsyatan sup Ayam Jeng Rini.