ESAI SEJARAH
OLEH YULIANTORO
Di balik gemuruh ombak dan semilir angin Parangtritis yang memanggil para wisatawan, tersembunyi jejak suci seorang waliyullah yang hidup dalam keheningan dan ketulusan: Syekh Bela Belu.
Namanya tak setenar tokoh-tokoh besar dalam buku sejarah, namun sosoknya hidup dalam ingatan masyarakat selatan Yogyakarta sebagai cahaya spiritual yang tak pernah padam, meski dunia terus berubah.
Menurut riwayat tutur masyarakat setempat, Syekh Bela Belu merupakan putra Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit, bernama asli Raden Dhandhun atau Raden Jaka Bandem.
Ia datang ke wilayah pesisir selatan Jawa bersama adiknya, Raden Dhandher atau Jaka Dander, yang kelak dikenal sebagai Syekh Dami Aking.
Keduanya memilih jalan sufi—meninggalkan gemerlap istana demi kehidupan spiritual yang penuh laku tirakat.
“Beliau memilih Parangtritis sebagai tempat menyepi dan mendekatkan diri kepada Allah,” tutur Surakso Pandi, juru kunci makam Syekh Bela Belu yang kini diwarisi turun-temurun dari keturunan Kyai Selohening.
“Dulu tempat ini masih sunyi, penuh hutan dan semak. Tapi Syekh Bela Belu tak gentar. Ia hanya ingin dekat dengan Tuhan.”
Nasab keilmuan Syekh Bela Belu juga menguatkan kewaliannya.
Ia disebut-sebut sebagai murid dari Syekh Maulana Maghribi, ulama besar dari Persia yang menyebarkan Islam di tanah Jawa sebelum era Walisongo.
Selain itu, ada pula riwayat lisan yang menyebut ia pernah berguru pada Sunan Kalijaga, tokoh Walisongo yang dikenal sebagai penyebar Islam melalui seni dan budaya lokal.
Dari para guru itulah, Syekh Bela Belu mewarisi ilmu hikmah, tasawuf, dan laku batin yang mendalam.