Patih Rojoniti: Ksatria Mangir yang Tak Tunduk pada Tahta
ESAI BUDAYA
OLEH YULIANTORO
Di sebuah sudut pedesaan selatan Yogyakarta, di Jalan Samas Kuwaru No.16, Dusun Rojoniten, Cangkring, Gadingsari, Sanden, berdiri sunyi sebuah makam tua yang disakralkan masyarakat sekitar.
Di sinilah, Patih Rojoniti —seorang tokoh bangsawan kharismatik dari Tanah Perdikan Mangir— bersemayam dalam keabadian.
Namanya memang tak sepopuler Ki Ageng Mangir, sang kakak yang gugur oleh tipu daya Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram Islam.
Namun dalam bisik-bisik sejarah rakyat, nama Patih Rojoniti bersinar sebagai simbol keberanian, kesetiaan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim.
“Beliau orang besar, bukan hanya patih. Ia melanjutkan perlawanan setelah kematian Ki Ageng Mangir,” tutur Mbah Wondo, sang juru kunci makam, yang telah bertahun-tahun merawat tempat peristirahatan terakhir sang patih.
Bangsawan Berhati Rakyat
Patih Rojoniti lahir dan besar di lingkungan bangsawan Mangir.
Ia adalah adik kandung Ki Ageng Mangir, tokoh besar yang membangun perdikan Mangir sebagai wilayah mandiri di tengah ekspansi kekuasaan Mataram.
Saat Mataram di bawah Panembahan Senopati mencoba menundukkan wilayah Mangir, Ki Ageng Mangir akhirnya gugur dengan cara yang tragis: dijebak melalui pernikahan politik dengan putri raja, lalu dibunuh saat bersujud hormat di hadapan sang mertua.
Bagi Rojoniti, tragedi itu membakar amarahnya.
Ia bangkit tidak hanya sebagai adik yang kehilangan kakak, tetapi sebagai patih dan ksatria yang hendak menegakkan kembali kehormatan Mangir.
Dalam beberapa versi tutur rakyat, Patih Rojoniti disebut sebagai pelaku pembunuhan terhadap Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati, sebagai bentuk balas dendam.