Patih Rojoniti: Ksatria Mangir yang Tak Tunduk pada Tahta

Tombak pusaka Kiai Baru Klinthing disebut sebagai senjata yang digunakan dalam aksi tersebut.

Namun versi lain menyebut bahwa Rojoniti bukan berasal dari Mangir, melainkan seorang patih pelarian dari Majapahit yang kemudian menjadi pembela rakyat di wilayah selatan.

Ini membuka kemungkinan bahwa Rojoniti hidup di masa transisi antara Majapahit yang Hindu-Buddha dan Mataram Islam, menjadikan posisinya unik sebagai penjaga nilai-nilai lama yang sedang digerus kekuasaan baru.

Meski dikenal sebagai prajurit dan pemimpin, Patih Rojoniti tak sekadar menampilkan citra ksatria.

Dalam banyak cerita lisan, ia dikenal sebagai pribadi yang warak, tekun beribadah, dan sangat mencintai ilmu kanuragan serta ilmu kebatinan.

Ada dugaan kuat bahwa ia telah memeluk Islam, mengingat hubungan erat Mangir dengan pusat-pusat dakwah Islam di sekitar Pajimatan Imogiri dan Kotagede.

Masyarakat sekitar makam bahkan meyakini bahwa Patih Rojoniti memiliki karomah, semacam kelebihan spiritual.

“Banyak yang ngalap berkah di sini, minta kelancaran rezeki, keselamatan, atau sekadar berdoa agar kuat menghadapi hidup,” ujar Mbah Wondo.

Di tengah pergolakan politik dan tekanan militer dari Mataram, Patih Rojoniti tak meninggalkan rakyat.

Ia dikenal sebagai pemimpin yang melindungi desa, memperjuangkan hak-hak para petani, serta menjaga agar wilayah Mangir tetap menjadi tempat aman bagi rakyat kecil.

“Beliau sangat membela wong cilik, tak gentar melawan mereka yang merampas hak tanah dan kedaulatan rakyat,” kenang tokoh masyarakat setempat, Pak Slamet, yang sering mendampingi peziarah.

Patih Rojoniti mewariskan lebih dari sekadar makam dan cerita heroik.