ESAI YULIANTORO
Muharram telah datang. Angin malam menyelinap lembut di antara dahan-dahan sunyi, membawa bisikan masa lalu.
Bukan sekadar awal tahun Hijriah, Muharram adalah lorong waktu yang menggiring kita pada renungan terdalam, pada harapan dan pengampunan, juga pada luka sejarah yang tak pernah benar-benar sembuh.
Di puncaknya, 10 Muharram—Hari Asyura—bukan hanya tanggal dalam kalender Islam.
Ia adalah cahaya yang lahir dari air mata, darah, dan keteguhan jiwa para kekasih Allah.
Di dalam Asyura, dua arus besar sejarah Islam saling bersilangan: pengampunan Allah yang melimpah ruah, dan pengorbanan manusia yang melebihi nalar.
Satu sisi menjadi jalan keselamatan para nabi, di sisi lain menjadi nisan perjuangan cucu Rasulullah SAW—Sayyidina Husain bin Ali.
Asyura: Titik Pengampunan dari Langit
Hari Asyura adalah momentum spiritual yang sangat agung. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Ia bukan hari biasa. Pada 10 Muharram, tobat Nabi Adam AS diterima. Nabi Nuh AS selamat dari banjir besar.
Nabi Musa AS dan Bani Israil lolos dari tirani Firaun setelah Laut Merah terbelah. Nabi Idris AS diangkat ke langit.
Asyura adalah pelajaran abadi bahwa kasih sayang Allah lebih luas dari murka-Nya, bahwa pengampunan adalah anugerah bagi siapa saja yang mengetuk pintu-Nya dengan penuh penyesalan.
Muharram sendiri disebut “Syahrullah” (bulan Allah)—salah satu dari empat bulan suci yang dihormati sejak zaman jahiliah.
Di bulan ini, amal diperberat timbangannya, dosa dilipatgandakan akibatnya.