Maka berpuasa, bersedekah, dan berzikir menjadi laku utama yang memperhalus nurani.
Namun, segala kesucian itu bersanding kontras dengan tragedi Karbala yang mengguncang langit dan bumi.
Karbala: Ketika Darah Menjadi Pelita Kebenaran
Di sebuah padang tandus bernama Karbala, 10 Muharram 61 H, langit tampak kelabu dan bumi seakan menahan napas.
Di sanalah Sayyidina Husain bin Ali berdiri dengan tegak, membawa cahaya kebenaran, cinta kepada Allah, dan kehormatan keluarga Nabi.
Ia tak datang untuk perang. Ia datang untuk menolak tunduk pada kebatilan.
Perjalanan dari Madinah menuju Kufah sebenarnya adalah jalan menuju syahadah.
Husain tahu. Tapi ia tak mundur.
Ia menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah—penguasa tiran yang mengubah khilafah menjadi warisan dinasti.
Bagi Husain, agama tidak boleh diperjualbelikan demi kekuasaan.
“Jika kamu tidak punya agama, setidaknya jadilah manusia merdeka,” serunya sebelum ajal menjemput.
Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah menulis bahwa tubuh Husain dihujani panah, ditombak, lalu dipenggal.
Bayi yang masih menyusu, Ali Asghar, pun tak luput dari panah keji. Kepala Husain diarak menuju istana Kufah.
Bahkan, Anas bin Malik—sahabat Nabi—menangis melihat perlakuan terhadap cucu Rasulullah: “Demi Allah, aku melihat Rasulullah mencium tempat kau tusuk-tusuk itu!”
Imam Suyuthi mencatat dalam Tarikh al-Khulafa, bahwa hari itu matahari redup, langit memerah, dan bumi menggigil.
Duka Karbala bukan hanya kisah pertumpahan darah, melainkan tragedi kemanusiaan yang menyayat nurani.
Cucu Nabi dibantai, anak-anak kehausan, dan perempuan Ahlul Bait diseret sebagai tawanan.