Dari Pusara Wali, Mengalir Keteladanan

ESAI SEJARAH

OLEH YULIANTORO

Di berbagai sudut Nusantara, makam para waliyullah senantiasa ramai dikunjungi peziarah.

Dari kawasan pesisir Jawa, lereng gunung, hingga pusat kota, selalu ada kisah tentang orang-orang saleh yang hidupnya diabdikan untuk agama dan umat.

Di balik keramaian itu, ada satu keyakinan yang mengakar kuat “ngalap berkah” upaya meraih limpahan kebaikan dari Allah SWT melalui perantara para wali.

Dalam tradisi Islam, ziarah kubur bukan sekadar ritual. Ia adalah perjalanan batin.

Rasulullah SAW bersabda, “Dulu aku melarang kalian berziarah kubur. Sekarang berziarahlah, karena ia akan mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim).

Maka, di hadapan pusara, manusia diajak menundukkan ego, merenungi kefanaan, dan mempertebal takwa.

Al-Qur’an sendiri menegaskan makna mengambil pelajaran dari kisah orang saleh.

Firman Allah: “Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka” (QS. Al-An‘am: 90).

Ayat ini menjadi dasar bahwa meneladani jejak orang saleh, termasuk para wali, merupakan bagian dari jalan menuju Allah.

Lebih dari sekadar mengingat mati, ziarah ke makam waliyullah memberi dimensi spiritual tambahan.

Para wali dipandang sebagai kekasih Allah, insan pilihan yang kehidupannya sarat teladan.

Tabarruk — istilah Arab untuk mencari berkah — berarti menyerap energi kebaikan yang terpancar dari jejak hidup mereka.

Imam al-Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i, dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa dianjurkan mendatangi makam orang-orang saleh, berdoa di sana, dan menjadikannya momen untuk mengingat akhirat.

“Esensi ngalap berkah bukanlah meminta kepada wali, melainkan berharap kepada Allah yang memuliakan wali tersebut,” jelas KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).

Lihat juga...