Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 12/08/2025
Bendera “One Piece” marak. Media mainstream dan sosial banyak mengupas. Youtube, tiktok, juga ramai membahas.
Fenomena pengibaran bendera “one pice” akhir-akhir ini, disinyalir bukan sekedar fandom. Kampanye merayakan suatu karya dari para penggemarnya. Seperti karya fiksi, tokoh. Bentuknya bisa fanart, fanfinction, coasplay, video kreatif. Termasuk pula “meme” – konten media sosial. Aksi di dunia nyata: pemasangan bendera, mural, flash mob, pameran tematik.
“One Piece” awalnya sebuah manga/anime. Karya Eiichiro Oda. Menceritakan petualangan bajak laut mencari harta karun. Makna simboliknya: kebebasan, solidaritas, independen (tidak taat aturan).
Makna itu bergeser. Ditumpangi pesan sosial politik. Alat mendeliver pesan sosial-politik.
“One piece” dianggap “simbol perlawanan terhadap kekuasaan”. Bajak laut identik ultra independen. Tabiatnya melawan pemerintah resmi yang dianggap penuh kamuflase dan korup. “One piece” bisa diterjemahkan menjadi metafora: “rakyat tidak percaya” atau “menolak tunduk” pada pemerintah yang dianggap tidak lagi berpihak.
“One piece” juga menjadi “lambang kebebasan dan solidaritas”. Bendera bajak laut mewakili spirit saling melindungi. Berlayar bersama. Bebas menentukan arah. “One Piece” digunakan menyatakan pesan: “kita rakyat punya kapal sendiri, saling jaga, tanpa pemerintah pun bisa bersatu.”
“One piece” bisa menjadi “penanda jarak emosional rakyat–pemimpin/rezim berkuasa”. Mengibarkan bendera ini maknanya seperti seperti deklarasi: “kami berlayar sendiri, tidak lagi satu kapal dengan kalian.” Ini mengirim pesan bahwa hubungan simbolik antara rakyat dan pemimpin sudah retak.