One Piece: Awal Delegitimasi Psikologis dan Sosial?

Pesan ini tampak lucu. Kreatif. Akan tetapi pesan politiknya bisa menohok. Menembus batas kelompok umur dan kelas sosial.

Apa betul ada delegitimasi psikologis dan sosial antara rezim berkuasa saat ini dengan masyarakat. “One Piece” tanda awal keretaan itu?.

Kita hanya bisa melakukan hipotesa dari perspektif siklus honeymoon period. Siklus bulan madu politik.

Sesaat usai pemilu, lazim ada “honeymoon period”. Rakyat memberi waktu, harapan, dan kepercayaan penuh. Kepada rezim berkuasa yang dipilihnya.

Pada masa kampanye dan fase “honeymoon period”, gestur simbolik sangat efektif membangun kedekatan. Pemimpin menggunakan bahasa rakyat. Mengunjungi pasar. Makan bersama warga. Sangat erat secara psikologis.

Periode ini biasanya berlangsung singkat. Tatkala pemerintahan mulai berjalan, simbol-simbol itu tergantikan dengan prioritas teknokratis dan birokratis.

Terjadi perubahan lingkungan pemimpin. Setelah terpilih, seorang pemimpin biasanya dikelilingi inner circle”. Diisi profesional, ahli strategi, atau tokoh politik senior. Mereka kompeten secara teknis. Akan tetapi belum tentu mahir membangun chemistry dengan rakyat.

Pemimpin makin sulit menerima “bahasa langsung rakyat”. Semua arus informasi difilter oleh lingkar dalamnya. Rakyat menjadi merasa berjarak. Bahkan kadang ditinggalkan.

Pada momentum seperti itu memicu risiko komunikasi terputus. Antara pemimpin dengan rakyat. Saat bahasa dan gestur rakyat tidak lagi tercermin dalam sikap pemimpin, muncul perasaan: “dia tidak lagi seperti dulu.” Pemimpin bisa terlihat sibuk di “dunia elite”, rakyat merasa tidak diajak bicara.

Apakah itu yang terjadi di Indonesia saat ini. Terdapat sisiran-sisiran tertentu pendukung Presiden Prabowo mulai ada yang merasa ditinggalkan?.

Lihat juga...