Tragedi Karbala adalah refleksi tajam bagi umat. Yang paling memilukan bukan hanya pembantaian itu sendiri, tapi diamnya mayoritas umat saat itu.
Banyak yang tahu bahwa kebenaran bersama Husain. Tapi karena takut dan nyaman dalam kekuasaan, mereka memilih bungkam.
Inilah pelajaran dari Karbala: bahwa kezaliman bisa menang bukan karena kuatnya tiran, tetapi karena diamnya orang-orang baik.
Sejarah Husain bukan untuk membangkitkan dendam, melainkan untuk membangunkan nurani.
Prof. Nadirsyah Hosen menulis bahwa Karbala bukan milik Syiah atau Sunni semata, tapi warisan seluruh umat Islam.
Karbala adalah milik semua jiwa merdeka yang menolak kezaliman dan menegakkan kejujuran—meski harus berjalan sendiri.
Asyura Hari Ini: Lentera di Tengah Gelap Zaman
Asyura hari ini bukan lagi soal puasa semata.
Ia adalah pelita di tengah gelap dunia yang sarat ketidakadilan, kebohongan, dan kerakusan.
Ketika kekuasaan dipertuhankan, suara rakyat dibungkam, dan kebenaran dimanipulasi, semangat Karbala hadir sebagai lentera: bahwa yang benar harus diperjuangkan walau harus kehilangan segalanya.
Bagi kita, Asyura adalah saat yang tepat untuk menunduk dalam hening, mengintrospeksi hati, dan bertanya: di pihak manakah kita berdiri ketika kebenaran diuji?
Asyura bukan sekadar hari penuh air mata. Ia adalah cahaya yang terbit dari luka terdalam sejarah umat Islam.
Cahaya itu bersinar hingga hari ini—dari doa-doa para nabi, dari darah suci Karbala, dari keberanian Husain yang tak pernah pudar.
Melupakan Karbala berarti membiarkan kebatilan berkuasa.
Menghapus sejarah Husain berarti mengkhianati nurani umat.
Sebaliknya, mengenang Asyura adalah membangkitkan keberanian dalam diri kita: untuk jujur, untuk adil, dan untuk selalu berada di sisi yang benar.