Dakwahnya tidak keras, tapi mengena.
Ia dikenal menyatu dengan masyarakat, mengajarkan Islam melalui keteladanan, kasih sayang, dan welas asih.
“Beliau sering membantu masyarakat tanpa pamrih,” lanjut Surakso Pandi.
“Kalau ada yang sakit, didoakan. Kalau ada yang lapar, diberi makan. Padahal beliau sendiri hidup sangat sederhana.”
Pelita Umat di Pesisir Selatan
Bagi masyarakat sekitar Parangtritis, Syekh Bela Belu bukan hanya guru ruhani, tetapi juga pelindung yang tak kasat mata.
Ia disebut-sebut mampu menenangkan badai, menolak pagebluk, dan memberi keberkahan bagi siapa pun yang tulus berdoa di makamnya.
Makam beliau berada di Bukit Banteng, Grogol, Parangtritis, Kretek Bantul DI Yogyakarta —sebuah titik sunyi yang menghadap langsung ke samudera.
Konon, makam ini ditetapkan secara resmi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IV pada abad ke-19 setelah ditemukan tanda-tanda gaib dan artefak yang menguatkan lokasi keberadaannya.
Penelusuran spiritual saat itu dilakukan oleh Kyai Selohening, seorang tokoh kerohanian istana yang mendapat petunjuk langsung melalui mimpi.
Sejak saat itu, makam ini menjadi tempat ziarah dan wirid para peziarah dari berbagai daerah.
Di hari-hari tertentu, diadakan pengajian, tahlilan, dan kenduri yang dipimpin para ulama setempat.
Di tengah hiruk-pikuk wisata Parangtritis, Bukit Banteng tetap menjadi oase rohani yang menenangkan jiwa.
Tanpa Keturunan, Tapi Warisannya Kekal
Meskipun berasal dari keluarga bangsawan, Syekh Bela Belu memilih hidup tanpa jejak kemewahan.
Hingga kini, tak ada catatan yang menyebutkan bahwa beliau memiliki anak atau keturunan biologis.
Masyarakat meyakini, beliau menutup hidupnya dalam kesendirian, hanya meninggalkan warisan spiritual: nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan cinta kepada sesama.