Syekh Bela Belu juga tidak pernah meninggalkan kitab atau bangunan mewah.
Tetapi setiap batu di makamnya, setiap pohon di sekelilingnya, seolah menjadi saksi ketulusan laku hidupnya.
Seorang warga, Pak Harjiman (63), menyebut: “Kalau datang ke sana malam-malam, rasanya seperti diselimuti ketenangan. Doa terasa lebih khusyuk.”
Hingga kini, makam Syekh Bela Belu tak pernah sepi dari peziarah.
Dari pedagang, nelayan, hingga tokoh-tokoh spiritual dari berbagai daerah datang untuk bertawassul, memohon keberkahan, jodoh, kesehatan, dan ketenangan batin.
Mereka percaya bahwa meski raga beliau telah lama tiada, ruh dan doanya masih menyelimuti bumi selatan.
“Orang-orang yang mencintai Allah, tak dikenal manusia, tapi doanya dikenal langit. Itulah Syekh Bela Belu,” tutur Surakso Pandi dengan mata berbinar.
Syekh Bela Belu adalah gambaran waliyullah yang tak perlu sorotan, tapi keberadaannya terus menguatkan iman banyak orang.
Dalam sepinya, beliau menyinari.
Dalam sunyinya, beliau menjaga.
Tak heran jika nama beliau terus disebut, meski sejarah formal tak menuliskannya secara gamblang.
Kini, di tengah dunia yang bising oleh ambisi dan kegaduhan materi, kisah Syekh Bela Belu mengingatkan kita pada satu hal: bahwa hidup bukan soal dikenal atau dikagumi, tetapi soal membawa manfaat dan menjadi rahmat bagi sesama. ***
Yuliantoro, pemerhati sejarah, tinggal di Bantul, Yogyakarta
Referensi:
Wawancara dengan Surakso Pandi, juru kunci makam Syekh Bela Belu (Bantul, 2025)
Tradisi Lisan Masyarakat Parangtritis
Wikimapia.org – Makam Syekh Bela Belu
Harapanrakyat.com, “Jejak Syekh Bela Belu: Wali dari Majapahit”, April 2025
JogjaIndoTrans, “Napak Tilas Wali Pesisir Selatan”, 2024