Merasa kata-katanya tak ditanggapi, muka papa merah padam. Ia menghampiri dan menarik daster istrinya.
”Ini lihat! Lihat ke sini matamu biar kau tahu kelakuan anakmu…” Pria berkumis dan berjanggut tipis itu melanjutkan omelannya sembari menunjukkan sebuah dasi kerja yang terpotong.
”Apa sih, Pah, ngamuk siang-siang begini. Dasimu rusak? Ini kan hari minggu. Kamu juga tidak ngantor, kan?” Mama mencoba tenang dan menanggapi kalem umpatan papa. Ia mungkin cepat sadar, mendebat suami adalah percuma.
”Goblok!! Besok aku pakai dasi apa? Mau beli lagi? Aku sudah ndak ada uang. Kamu dagang bangkrut terus. Gajiku, uang belanja bulanan, uang lakik kesedot ke sup ayam sialanmu. Ibu anak sama saja gobloknya.”
Mama menghela napas dalam-dalam. ”Iya, iya saya ngerti. Nanti saya jewer kupingnya kalau ketemu,” ujarnya mengalah.
Jawaban datar mama tak menghentikan omelan papa. Setelah pintu dibanting keras-keras, mama dan aku tahu benar bila papa sedang marah, ia akan keluar dan mencari warung kopi. Mama menganggap kemarahan papa sebagai sesuatu yang wajar.
Mungkin karena aku bukan anak kandung papa. Dalam suatu pertengkaran, mama pernah dipaksa papa mengulangi janjinya sebelum menikah. Mama setuju aku boleh ikut menumpang dan dibiayai, tapi papa dan anak-anak kandungnya kelak harus lebih diutamakan ketimbang aku.
Mungkin mama berpikir lebih baik dapat perlakuan kasar suami yang tanggung jawab ketimbang kemesraan dan sikap romantis dari mantan suami yang menganggur.
Kesabaran mama sebagai ibu sekaligus istri yang bekerja juga kerap diuji olehku, anak semata wayangnya. Meski umurku menginjak delapan tahun, tapi aku dianggap seperti bocah. Bermain game sepanjang hari, makan, tidur, berlarian dengan anak-anak yang lebih kecil.