Sup Ayam Jeng Rini

CERPEN CITRA D. VRESTI TRISNA

Spekulasi ini didapat dari pengamatan sebagian orang yang mengamati mata Jeng Rini. Mata itu memang nampak merah, berkaca-kaca seperti ingin menangis. Ada orang yang pernah melihat Jeng Rini menghentikan jualannya lantaran tiba-tiba menangis meraung-raung menyebut sebuah nama.

Nama siapa? Ada yang bilang kalau yang disebut nama ibunya, ada yang bilang menangisi simpanan Jeng Rini.

Ya, silakan saja berspekulasi. Hanya aku yang tahu. Karena akulah orang yang paling dekat dengan sup ayam.

Sup ini telah terhidang di mejaku. Di suapan pertama, aku kembali pada ingatan tentang masa lalu yang begitu ingin kutinggal tapi terus minta ikut.

Di suapan ke dua ingatan itu kembali jelas. Di suapan ketiga mataku berkaca-kaca hingga ingin menangis. Mengapa sup ayam membuatku sebegini berlebihan. Tak ada yang tahu kalau aku punya kenangan mendalam dengan sup ayam. Makin lahap makanku, makin aku cepat kembali:

Waktu itu hari minggu yang biasa saja.

”Mama ini ngerti apa soal dagang!” Bentak papa. ”Sudahlah, urus saja baik-baik itu anakmu. Sudah makin gila anak itu! Lagi pula mengapa kau nekat dagang sup ayam. Kemarin saya curi dengar dari orang, katanya sup buatanmu seperti leleran muntahan kucing.”

Dikata-katai begitu, mama melirik ke papa dengan kesal.

Menurutku, soal rasa sup ayam, mama sepenuhnya sadar bila masakannya masih kalah jauh dengan sup ayam lainnya. Meski begitu, masih saja ada satu dua orang nyasar yang beli karena ia berdagang di luar komplek.

Satu dua orang yang datang saja sudah bagus. Bahkan lebih sering tidak ada seorang pun yang beli. Kalau sudah seperti itu agar tidak terlalu merugi, mama harus memanaskan sup agar bisa dijual lagi esok, esoknya lagi dan lagi.

Lihat juga...