Garep

CERPEN WARDIE PENA

Ia tergidik dan tersenyum pongah ke arah Kiman setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Para warga yang berdiri di depan sanggar terdiam sambil menggigit jari. Kalau tidak Rekas, pastilah Kiman yang sebentar lagi akan terkapar, pikir mereka.

Tak lama kemudian, terdengar teriakan lantang dari mulut Kiman. “Aku sudah bersumpah di hadapan kalian untuk tidak mencuri lagi. Dan malam ini pun aku bersumpah, jika aku mati lantaran meminum air ini, semoga Rekas baik-baik saja!”

Seperti halnya Rekas, ia pun segera meminum air suci hingga yang tersisa hanyalah cangkir itu saja. Suasana di seputar sanggar semakin mencekam. Hampir ratusan pasang mata itu terpaku pada tubuh Kiman, menunggu kepastian sebuah kebenaran.

Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak ada satu pun di antara mereka berdua yang tergeletak di tempat. Bulan sabit sudah merangkak di atas atap sanggar, menandakan malam telah berbau pagi. Semua warga dan tetua kampung serta tokoh adat pun pulang dengan perasaan lega.

Tapi, rasa lega itu tak bertahan lama. Esok harinya jasad Kiman ditemukan terkapar di bawah pohon pisang di belakang rumahnya.
***
OAK Tede dan beberapa orang warga telah sampai di depan rumah Rekas. Laki-laki yang berjuluk Tuan Sapi—karena memiliki puluhan ekor sapi dan terbanyak di Kampung Waru—itu sungguh terkejut melihat kedatangan Oak.

“Ada apa Oak mengajak orang ramai-ramai ke rumahku?” tanyanya.

“Meminta pertanggungjawabanmu!” timpal Oak.

“Pertanggungjawaban apa?”

“Atas kematian Kiman.”

Rekas sebenarnya sudah bisa menduga bahwa kedatangan lelaki berjangat kisut ini akan membicarakan soal kematian Kiman. Selain tidak punya urusan apa-apa dengannya, dialah satu-satunya yang bersikeras membela mantan maling itu ketika musyawarah bersama para tokoh kampung dulu.

Lihat juga...