Tombak Leluhur

CERPEN KIKI SULISTYO

Ilustrasi Helmi Fuadi

DIA datang lagi. Sudah tiga kali di minggu ini. Mengenakan baju longgar dengan motif ikat celup, aksen rumbai-rumbai, juga ikat kepala. Pada pandangan pertama, Sirin langsung menduga, dia seorang hippies; kelompok pengembara yang berpindah-pindah permukiman.

“Bagaimana? Sudah memutuskan?” tanyanya. Sirin baru bangun. Hampir tengah hari, lalat-lalat musim panas berputar-putar. Sebagian terperangkap teralis di mana sinar matahari disaring dan menjadi lebih ringan ketika menyentuh benda-benda dalam ruangan.

Sirin masih mengenakan baju tidur pendek sehingga bagian bawah paha serta kakinya yang bertato terlihat mencolok. Si Hippies memperhatikan tato itu sebentar, seakan hendak mencari tanda yang bisa menghubungkannya lebih dekat dengan Sirin.

Sembari merapikan rambut, dengan acuh Sirin melangkah ke dapur, mengambil gelas, menuang air ke dalamnya, dan langsung meneguknya. “Kapan Anda akan pulang?” tanya Sirin.

Gelas masih di tangannya. “Mungkin sampai kamu bersedia melepas tombak itu,” jawab si Hippies. Ia menepuk-nepuk permukaan kursi sofa yang sudah koyak sebagiannya, lantas duduk di sana. Sirin kembali menuang air kemudian membawa air itu dan meletakkannya di meja persis di hadapan si Hippies.

Tamu itu mengucapkan terima kasih. Mereka kini duduk berhadapan. Sirin mengelus-elus betisnya seakan terganggu dengan tato yang ada di sana.

“Kalau aku tidak melepasnya, berarti Anda akan terus datang?”

“Sepertinya begitu. Saya tidak punya pilihan lain. Sudah banyak waktu yang saya buang untuk bisa sampai ke sini. Saya pikir barang itu juga tidak begitu berarti buat kamu.”

Lihat juga...