Tombak Leluhur
CERPEN KIKI SULISTYO
“Kenapa Anda berpikir begitu?”
“Sepertinya kamu bukan jenis orang yang punya perhatian terhadap barang-barang.”
Beberapa ekor lalat melayang-layang di sekitar kepala Sirin, seekor di antaranya hinggap di hidung. Sirin membiarkannya. Si Hippies melihat lalat itu lalu mengibaskan tangan ke wajahnya sendiri seakan ada lalat juga yang hinggap di sana. Lalat di hidung Sirin kembali terbang berputar-putar.
“Kamu bahkan tidak memperhatikan lalat,” ujar Si Hippies.
“Rupanya Anda sangat memperhatikan segala sesuatu. Ngomong-ngomong, Anda memilih berpakaian seperti itu karena apa?”
“Oh, kamu tidak menyukainya?”
“Bukan. Seperti yang Anda katakan, aku tidak punya perhatian terhadap barang-barang. Hanya saja, Anda mengingatkan saya pada seseorang.”
“Oh ya? Tetapi bukannya setiap orang mengingatkan seseorang pada seseorang lain?”
“Begitukah?”
“Ya. Kamu juga mengingatkan saya pada seseorang.”
“Siapa?”
“Namanya Eva. Dia orang pertama yang mengatakan bahwa leluhur saya adalah pemburu. Itu informasi yang menarik sekali, setidaknya saya jadi tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya.”
“Ajaib. Anda juga mengingatkanku pada Eva.”
“Siapa dia?”
“Seorang kawan.”
“Cuma seorang kawan?”
“Ya. Hmm, aku mungkin tidak akan melepas tombak itu.”
“Kamu tidak perlu terburu-buru. Apa kamu tidak mau mengetahui kenapa saya sangat menginginkan tombak itu?”
“Itu tidak penting. Toh, apa pun itu tidak akan berhubungan denganku.”
Seekor lalat kembali hinggap, kali ini di dekat mata Sirin. Lalu terdengar suara ribut-ribut dari luar rumah. Seorang lelaki muda tergopoh-gopoh masuk, muka dan lehernya mengilat oleh keringat. Tanpa basa-basi dia langsung berseru, “Mana tombak itu. Ada babi hutan mengamuk!”