Garep

CERPEN WARDIE PENA

Apalagi, di satu sisi, sumpah yang diucapkan Kiman tidak main-main. Nyawa adalah taruhannya. Pak Bakir pun mengajak para tetua kampung dan tokoh adat, untuk merundingkan langkah yang hendak ditempuh dalam memecahkan masalah pelik tersebut.

Hingga akhirnya mereka semua sepakat untuk menyelenggarakan ritual garep. Meski ada satu dua orang menolak, tapi suara mereka kalah banyak dengan yang setuju.

Begitulah memang tradisi yang dijalankan masyarakat di kampung tersebut. Ketika kasus kriminal, khususnya pencurian, tidak dapat ditemukan pelakunya dan menimbulkan perkara baru, maka dilaksanakanlah semacam pembuktian melalui ritual garep.

Yakni upacara meminum air suci yang diambil dari sebuah makam keramat di Kampung Waru, oleh dua pihak yang sedang berselisih.

Itu pun melalui proses panjang dan musyawarah bersama tokoh dan tetua kampung, karena ritual tersebut akan menelan korban kematian atau bala bencana.

Dua malam berikutnya, semua warga kampung berkumpul di sanggar desa untuk menyaksikan ritual sakral tersebut. Rekas dan Kiman duduk di tengah dikelilingi para tetua dan tokoh kampung, tak ubahnya seperti dua orang terdakwa persidangan.

Meski dikerumuni hampir ratusan orang, tapi suasana sanggar tampak hening. Hanya sesekali terdengar bisikan-bisikan ringan dari depan sanggar. Selain untuk mengkhidmatkan jalannya ritual, kepala mereka juga disesaki pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi korban?

Setelah meminta kesiapan mereka berdua, Oak Minarsih, seorang tokoh adat, menyodorkan dua cangkir yang hampir serupa mangkuk berisi air suci. Rekas lekas meraih cangkir yang terbuat dari tanah liat itu dengan tangan bergetar, lalu menenggaknya hingga tandas.

Lihat juga...