ABU Bakar melempar-lemparkan apa saja yang bisa diraih dengan tangannya: ada sandal jepit putus, sepasang sepatu kets usang, pembalut bekas, pampers bekas, kotak susu formula ringsek, tas-tas kresek penuh sampah dapur, botol-botol plastik bekas minuman kemasan, juga bangkai seekor ular kayu yang gemuk.
Ketika tangan kanan Abu Bakar memegang ekor bangkai ular kayu itu dan mengangkatnya—seolah sedang menunjukkan sebuah penemuan mutakhir—sekelompok bocah lari terbirit-birit.
Mereka adalah bocah-bocah kompleks perumahan yang kerap iseng menguntit keseharian Abu Bakar.
“Minggir, minggir! Minggir ke sana!” teriak Abu Bakar seraya dengan tenang melemparkan bangkai ular kayu itu ke balik jembatan. “Huh, sama ular saja takut! Mereka belum pernah lihat kobra. King kobra saya bunuh. Saya cekik lehernya! Saya banting, lempar ke sawah…”
Fahmi tersenyum kecil mendengar gerutuan Abu Bakar. Dia menggulung celananya dan berniat menceburkan dirinya ke air selokan yang keruh, bergabung dengan Abu Bakar.
“Dulunya ini sebuah sungai,” ujar Abu Bakar.
Fahmi hanya mengernyitkan dahi. Mungkin dia memang tidak pernah mendengar cerita dari siapa pun, bahwa dulu—seperti yang dimaksudkan Abu Bakar—saluran irigasi berbau anyir-busuk yang menusuk-nusuk hidung itu memang sebuah sungai.
Lagi pula, tampaknya dia sedang mendongkol. Siang yang gerah itu dia menunggu Rahmat Ali, laki-laki paruh baya yang biasa dibayar warga kompleks untuk melakukan sejumlah pekerjaan—mulai dari membersihkan sampah yang menyumbat got perumahan hingga sekadar mengangkat galon berisi air mineral.
Namun, sudah hampir satu jam dia menunggu, Rahmat Ali belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, Rahmat Ali sudah berjanji akan membereskan sampah menggunung yang menyumbat saluran air di bawah jembatan itu.