Tiba-tiba Mereka Peduli Nasib Abu Bakar

CERPEN TJAK S. PARLAN

Mereka berdua sedang berada di sana. Pemulung itu tampak girang karena menemukan banyak sampah plastik tanpa perlu berjalan menyusur lebih jauh lagi. Sementara, Abu Bakar bertungkus lumus dengan limbah rumah tangga yang berjubel dan membuat saluran air di bawah jembatan kecil itu mampat.

Seandainya Fahmi datang lebih cepat, mungkin dia bisa menjadi saksi, bahwa mata Abu Bakarlah yang lebih dulu bertumbuk pada sepasang sepatu itu. Lagi pula, jembatan kecil dengan bau anyir-busuk limbah itu sudah sejak lama menjadi daerah kekuasaan Abu Bakar.

Namun, untung tidak dapat diraih Abu Bakar. Tongkat pengais sampah milik pemulung itu lebih dulu menjangkau sepatu itu. Hanya sebelah. Sementara, sepatu yang sebelahnya lagi, masih berada di tangan Abu Bakar.

Tanpa berpikir panjang, pemulung itu menghantamkan tongkat kawat besi dengan keras. Hidung Abu Bakar berdarah, tapi dia membisu seraya memegangi luka lebam di hidungnya.

Pemulung itu—dengan kemenangannya yang jumawa—segera meninggalkannya. “Orang gila sialan! Orang gila tak pantas pakai sepatu. Makan itu sampah sialan!” maki pemulung itu berkali-kali.

Fahmi yang sempat memergoki kejadian itu tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya mengangsurkan sebungkus rokok dan Abu Bakar mencomotnya sebatang dengan gembira seolah peristiwa pemukulan itu tidak pernah menimpa dirinya.

Barangkali, Abu Bakar memang lebih mudah melupakan peristiwa tidak menyenangkan bersama pemulung itu. Namun, sepertinya dia tidak pernah benar-benar lupa pada masa lalu.

Orang-orang di kompleks perumahan itu hanya bisa menebak apa saja yang kerap keluar dari mulutnya. Mereka bahkan telanjur menganggapnya sebagai ceracauan belaka. Dan itu tidak hanya berlaku bagi orang-orang dewasa, tapi juga telah ditanamkan dalam benak anak-anak mereka, bahwa Abu Bakar hanyalah orang gila.

Lihat juga...