Tiba-tiba Mereka Peduli Nasib Abu Bakar

CERPEN TJAK S. PARLAN

Sekerumunan bocah itu pun tertawa-tawa. Mereka meminta Abu Bakar mengulangi ceritanya dan Abu Bakar pun patuh; ia mengulanginya dan terus mengulanginya. Sesekali, di antara bocah-bocah itu, ada saja yang iseng.

Mereka akan melemparkan batu-batu tepat di depan Abu Bakar. Air pun berkecipak-muncrat, membasahi wajah dan tubuh Abu Bakar. Terkadang Abu Bakar hanya tertawa-tawa.

Terkadang dia juga menimpalinya layaknya seorang yang sedang marah karena merasa terganggu.

“Sialan, ikan-ikan lari semua! Sialan kalian! Anak-anak tak bisa mancing. Ikan-ikan lari semua. Goblok!”
Segerombolan bocah itu pun kembali tertawa.

Namun, ada yang berbeda hari itu. Hari ketika dia memamerkan bangkai ular kayu gemuk itu kepada anak-anak kompleks perumahan, wajah Abu Bakar tampak pucat. Dia seperti seseorang yang didera lapar berhari-hari.

“Bung, kamu belum makan, ya?” tanya Fahmi kemudian.

Abu Bakar hanya menoleh sebentar, lalu kembali mengais-ngais sampah yang berjubal-jubal di bawah bibir jembatan kecil itu. Sebungkus roti tawar dengan sedikit jamur, terselamatkan dalam bungkus tas kresek bersama makanan kemasan kedaluwarsa lainnya. Abu Bakar tersenyum tipis—dia merasa telah menemukan makan siangnya.

“Jangan dimakan, itu sudah jamuran!” tegur Fahmi. “Nanti saya belikan rokok dan nasi bungkus. Kamu lapar, kan?”

Abu Bakar tidak menghiraukan Fahmi. Matanya hanya terpaku pada menu makan siangnya. Dia pun bergegas melepaskan dirinya dari kubangan penuh sampah itu.

Duduk di tubir jembatan, seraya mengayun-ayunkan kakinya seperti bocah tanpa dosa, Abu Bakar pun mulai menyantap makan siangnya.

Dia tidak peduli dengan dengung sekerumunan lalat yang berputar-putar mengitari tubuhnya. Dia tidak menggubris Fahmi yang tampak dongkol dan terus-terusan mengutuki bau anyir-busuk sampah yang menebal di permukaan air keruh itu.

Lihat juga...