Tiba-tiba Mereka Peduli Nasib Abu Bakar

CERPEN TJAK S. PARLAN

Air memang tidak sampai meluap dan menggenangi rumah-rumah warga. Hanya saja, saluran irigasi itu lebih tinggi ketimbang saluran pembuangan yang ada di rumah kontrakkannya—dan itu membuatnya kerap menjadi korban.

Air akan menyusup ke dalam got kecil di depan rumah, lalu meluap dan menggenangi halaman rumah selama berhari-hari.

“Gemuk sekali kucing ini!” seru Abu Bakar tiba-tiba.

Fahmi terperangah. Hidungnya mencium sesuatu yang sangat menusuk sedari tadi. Rupanya bau busuk yang menusuk itu juga berasal dari bangkai seekor kucing berbulu belang. Perut kucing itu menggelembung dan tampak tidak berdaya di tangan Abu Bakar.

“Buang jauh-jauh sana!” tegur Fahmi Idris, seraya menutup hidungnya. “Sudah tahu bangkai, kenapa kamu pamer-pamerkan?”

Teguran Fahmi hanya berbalas gerutuan tidak jelas. Gerutuan Abu Bakar—yang diselingi tawa kecil—terus berderai, meningkahi gerak tangannya yang sibuk mengais apa saja. Sampah telah menumpuk, memanjang sekian meter dari bibir jembatan kecil.

Orang-orang kerap memilih jembatan kecil itu untuk memintas jarak antara blok satu dengan blok yang lainnya dalam kompleks perumahan. Setiap orang yang melewati jembatan kecil-pendek itu lebih sering menutup hidungnya.

Selalu saja ada yang berbau anyir-busuk di sana, kecuali jika Abu Bakar tidak sedang mengurung dirinya dalam gubuk kecil di pinggir sawah tidak jauh dari tempat itu.

Namun, Abu Bakar belum pernah menutup hidungnya. Hidung Abu Bakar telah kebas dengan apa saja, termasuk ketika seorang pemulung memukulnya dengan keras, pada suatu hari.

Peristiwa naas itu terjadi lantaran sepatu usang—sepasang pantofel hitam dari limbah sebuah keluarga yang dihanyutkan bersama tas kresek berisi penuh makanan sisa. Tidak ada yang tahu pasti, siapa yang lebih berhak atas sepatu itu.

Lihat juga...