Dukun Telinga

CERPEN KIKI SULISTYO

AKU tak menyukai Nenek. Dia tak sungguh-sungguh menyayangiku. Kalau aku sedang senang, kelihatannya dia tak peduli.

Ketika aku sedang susah, dia juga bukan jenis orang yang bisa diharapkan memberi jalan keluar. Sesekali Nenek pergi ke pasar. Kadang dia tak membeli daging ayam, tapi pada hari-hari tertentu dia membeli banyak daging ayam.

Setiap kali kulihat ada daging ayam di keranjang belanjaannya, tak pernah kemudian daging ayam itu terhidang untuk kami makan.

Aku tak tahu ke mana daging ayam itu dibawa, tapi aku menduga bahwa Nenek memakannya sendirian. Kalau dugaan itu muncul, aku langsung menyimpulkan bahwa Nenek bukan hanya pelit tapi juga rakus.

Di lingkungan tempat tinggal kami Nenek dikenal sebagai dukun. Bukan dukun pengusir jin, melainkan dukun telinga.

Meski tidak setiap hari, ada saja orang yang datang berobat. Selain warga sekitar, para pasien itu juga datang dari tempat-tempat jauh, menandakan kalau kemampuan Nenek tak cuma dikenal para tetangga.

Kadang-kadang Nenek diberi uang sebagai upah, kadang-kadang cuma diberi beras atau gula. Aku suka memperhatikan para pasien itu.

Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tua, laki atau perempuan, bahkan ada juga yang kelihatan sudah uzur.

Kupikir telinga orang uzur sudah tak bisa diperbaiki lagi. Tetapi kenyataannya, tak pernah ada pasien yang kembali. Aku tak tahu apakah mereka tak kembali karena sudah sembuh, atau menyadari bahwa obat dari Nenek ternyata tak ampuh sama sekali.

Yang jelas masih saja ada pasien baru yang datang. Di antara para pasien Nenek ada seorang laki-laki yang masih muda. Dia satu-satunya pasien yang datang lagi setelah kedatangan pertama.

Lihat juga...