Dukun Telinga

CERPEN KIKI SULISTYO

Hanya saja kedatangan berikutnya bukan untuk berobat, melainkan untuk bertemu denganku. Waktu itu aku masih remaja dan kadang-kadang jantungku berdebar lebih cepat kalau teman sekolahku iseng menggoda.

Mula-mula aku bingung ketika pertama kali lelaki itu mencariku, itu terjadi pada kunjungan pertama setelah pengobatannya. Nenek, dengan agak kasar, memintaku menemaninya. Namun pada kunjungan selanjutnya, aku mulai terbiasa.

Seringkali kuperhatikan wajahnya ketika berbicara. Dia punya kumis yang sangat tipis, saking tipisnya sampai tampak seperti bayangan. Suaranya lembut dan halus.

Kerap aku merasa seperti berbicara dengan seorang perempuan. Dia tak pernah menyebut namanya. Nenek yang memberitahuku kalau nama lelaki itu Jamal, itu pun tak secara langsung; aku cuma pernah mendengar Nenek memanggilnya. Sejak kunjungan-kunjungannya, Nenek kelihatan semakin tidak suka padaku.

Rumah kami terdiri dari dua bangunan. Bagian depan ditempati Nenek, sedang bagian belakang kutempati bersama Bapak dan Ibu. Aku lebih suka berada di bangunan depan.

Mungkin karena terasa lebih nyaman. Bangunan belakang dindingnya terbuat dari anyaman bambu, sementara bangunan depan terbuat dari batu bata dan semen, sebagaimana rata-rata rumah di lingkungan kami.

Jamal selalu datang selepas senja. Dia mengucap salam dengan sopan dan Nenek akan mempersilakannya masuk, lantas memanggilku.

Jamal selalu memakai pakaian yang rapi. Wangi parfumnya juga tajam. Tidak banyak yang dibicarakannya.

Dia bertanya soal sekolah dan kegiatan-kegiatanku, lalu dia akan bercerita perihal beberapa peristiwa yang kebanyakan tak kumengerti atau tentang beberapa orang yang dekat dengannya, misalnya neneknya. Dia bilang neneknya memelihara buaya.

Lihat juga...