Dukun Telinga

CERPEN KIKI SULISTYO

Menurut ceritanya buaya itu datang pada suatu malam dan langsung menghuni sungai kecil di belakang rumahnya. Dia tinggal di kabupaten, beberapa puluh kilometer arah timur pusat kota tempat lingkungan kami berada.

Di kabupaten itu ada sebentang sungai kecil. Beberapa orang tinggal di sekitar sungai dan sesekali melihat buaya itu berenang. Mereka bilang itu buaya jadi-jadian.

Pada malam-malam tertentu neneknya akan membawa beberapa kantung berisi daging ayam untuk diberikan kepada buaya itu.

“Pernah diam-diam saya ikuti dia ke sungai. Waktu itu bulan sedang terang. Ternyata Nenek saya tidak cuma memberi makan buaya, dia juga bermain-main dengan binatang itu. Saya lihat Nenek tertawa-tawa waktu duduk di atas punggung buaya. Apa nenekmu juga memelihara buaya?”

Aku menggeleng meski teringat pada daging ayam yang sesekali dibeli Nenek. Sebetulnya dalam percakapan kami, aku juga tak banyak berkata-kata.

Sekitar dua jam kemudian dia akan pulang, dan sebelum pamit dia selalu memberikan aku hadiah yang dibungkusnya dengan kertas kado. Biasanya bungkusan tak langsung kubuka.

Setelah kembali ke belakang, ke kamarku yang kecil, barulah aku membukanya. Isinya macam-macam, tak pernah sama; ada pensil, penghapus, komik, atau kalung, tapi kadang juga ada benda-benda semacam potongan tulang, sobekan kain tebal, atau potret sepasang pengantin entah siapa.

Semuanya kutaruh di bawah bantal. Aku terlalu malu untuk bertanya padanya apa maksud di balik hadiah-hadiah itu.

Ibu jarang masuk ke kamarku. Tapi suatu hari dia bertanya perihal benda-benda itu. Aku bilang terus terang kalau benda-benda itu adalah pemberian Jamal yang -meskipun tak begitu pantas- kupanggil “Om”.

Lihat juga...