Dukun Telinga

CERPEN KIKI SULISTYO

Aku yang tak cukup bisa menghubungkan kata-kata Ibu dengan kedatangan orang-orang di depan dan segera bertanya, “Di mana Nenek sekarang?”

Ibu mau langsung menjawab, tapi tertahan oleh suara keramaian di depan. Sepertinya ada orang-orang lain yang datang. Kemudian dia bertanya, “Kamu ingat Jamal?”

Aku langsung mengangguk. Jantungku tiba-tiba berdebar lebih kencang mendengar nama Jamal disebut.

“Hari ini Jamal akan datang dan menjemput Nenekmu. Mereka akan dinikahkan. Itulah syarat yang diajukan guru nenekmu dulu. Nenekmu harus bersedia menikahi cucu laki-laki pertama dari gurunya itu.”

Aku masih tak mengerti apa yang dikatakan Ibu. Kutatap wajahnya dengan sungguh-sungguh. Sekilas kulihat di atas bibirnya muncul kumis tipis. Sangat tipis. Saking tipisnya, sampai tampak seperti bayangan. ***

Mataram, Nusa Tenggara Barat, 5 Juni 2021

Kiki Sulistyo, lahir di Kota Ampenan, Lombok, NTB. Telah menerbitkan kumpulan cerpen Belfegor dan Para Penambang (Basabasi, 2017). Meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Buku Puisi Terbaik Tempo 2018 untuk Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018). Kumpulan puisinya yang terbaru berjudul Dinding Diwani (Diva Press, 2020).

Redaksi menerima cerpen. Tema bebas tidak SARA. Cerpen yang dikirim orisinal, hanya dikirim ke Cendana News, belum pernah tayang di media lain baik cetak, online atau buku. Kirim karya ke editorcendana@gmail.com. Karya yang akan ditayangkan dikonfirmasi terlebih dahulu. Jika lebih dari sebulan sejak pengiriman tak ada kabar, dipersilakan dikirim ke media lain. Disediakan honorarium bagi karya yang ditayangkan.

Lihat juga...