Dukun Telinga

CERPEN KIKI SULISTYO

Ibu tampaknya tidak tahu siapa Jamal. Hari berikutnya Bapak mengulang pertanyaan Ibu. Kujawab juga dengan terus terang. Beberapa hari kemudian Bapak dan Ibu bertengkar dan sehari setelahnya Nenek ikut dalam pertengkaran itu.

Aku menyimak pertengkaran mereka. Kukira mereka bertengkar karena benda-benda itu. Namun tak sekalipun kudengar namaku disebut.

Mereka seakan-akan sedang bertengkar tentang masalah lain yang tak ada hubungannya denganku. Setelah pertengkaran itu Jamal tidak pernah datang lagi. Tepatnya, dia datang sekali, tapi kunjungannya sangat singkat. Dia seperti buru-buru pergi.

Kadang-kadang aku menunggunya. Timbul dalam pikiranku bahwa Nenek telah melarang Jamal datang. Timbul pula keinginanku untuk bertanya pada Nenek.

Tapi aku tidak berani. Sejak pertengkaran itu pula selintas-lintas aku lihat wajah Nenek berubah. Begitu juga wajah Bapak dan Ibu.

Sebetulnya aku tak bisa memastikan apa yang berubah. Hanya saja kalau pandanganku selintas terarah ke mereka, aku sering merasa ada beberapa bagian dari wajah mereka yang hilang atau bertambah.

Suatu kali salah satu mata Nenek tak ada pada tempatnya. Kali lain aku lihat mulut Bapak tinggal separuh, di kali lain lagi hidung Ibu kelihatan jauh lebih mancung.

Namun semua itu tak terlalu menggangguku, pikiranku masih dipenuhi pertanyaan kenapa Jamal tak pernah datang lagi.

Semakin aku memikirkannya semakin aku merasa tak suka pada Nenek, dan semakin aku merasa tak suka pada Nenek, semakin pula aku merasa Nenek tak suka kepadaku. Saat itu aku mulai berharap Nenek segera mati.

Suatu hari waktu pulang sekolah kulihat di bangunan depan banyak orang berkumpul. Tak seorang pun yang kukenal, orang-orang itu bukan berasal dari lingkungan kami. Kupikir mereka semua pasien Nenek, tapi Nenek sendiri tak kelihatan.

Lihat juga...