Pikiran Rekas pun berkelebat pada peristiwa yang terjadi hampir enam tahun lalu. Saat itu, sepulang dari ritual garep, ia dan dua orang temannya mendatangi rumah Kiman, lalu mengikat tubuhnya dan meminumkan racun serta membuang mayatnya ke belakang rumah setelah membuka ikatan tali. Tapi, mengakui hal itu saat ini tentu saja sebuah kekonyolan besar.
“Sudahlah, Kiman sudah menjadi tanah. Untuk apa lagi Oak membahasnya sekarang,” jawabnya enteng, setelah beberapa lama terdiam.
“Tidak bisa begitu. Aku yakin Kiman tak bersalah. Kamu pasti telah membunuhnya, dan sekarang kita semua kena dampak ritual garep.”
“Terus, mau Oak apa sekarang?”
“Garep harus kita laksanakan kembali.”
“Tidak bisa begitu!”
Wajah Rekas berubah merah mendengar kalimat terakhir Oak. Kematian Kiman cukuplah sebagai penebus hilangnya sepasang sapi. Masa ya harus melakukan ritual itu lagi? Jika itu ia lakukan, sama saja artinya dengan menggali liang lahat sendiri, pikirnya. Ia pun bersikeras mengelak bertanggung jawab.
“Kalau kamu memang merasa benar, kenapa kamu mesti takut?” celetuk salah seorang pemuda yang membuntuti Oak.
“Siapa yang takut? Tapi itu percuma, anak muda!”
Adu mulut tak berlangsung lama setelah Oak meminta mereka menyergap tubuh Rekas, lalu memaksanya ke kantor desa. Atas dasar musyawarah tokoh adat dan tetua kampung, dua hari kemudian ritual garep kembali dilaksanakan.
Namun, beberapa hari setelahnya, hujan tetap tak turun-turun. Bahkan, mereka menunggu selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bermusim-musim, bertahun-tahun, belum ada tanda-tanda hujan akan mengguyur Kampung Waru.
Sementara, ritual garep sudah menelan dua orang korban: Kiman dan Rekas. ***