PEKIK gagak kembali mengagetkan para warga. Perempuan tua yang tengah berjalan terbungkuk dengan memegang sepotong dahan sebagai tunjang, berhenti dan berusaha mendongak.
Laki-laki bertubuh mungil yang tengah duduk di halaman mengasah parang langsung menghentikan gerakan tangannya.
Anak-anak yang sedang berkumpul dan ribut di sebuah rumah tiba-tiba senyap. Mereka juga berlari ke halaman dan mendongak ke langit.
“Siapa mati?”
“Ya, siapa ya? Dari kemarin gagak ini.”
Para warga yang tengah duduk di berugak langsung memulai pembicaraan. Mereka yang tinggal berdekatan saling memanggil dengan penuh rasa penasaran, mulai membicarakan tentang pertanda buruk itu.
erempuan tua yang tengah berjalan terbungkuk memutuskan pulang. Ia merasa dirinya akan mendapat nasib buruk jika tetap pergi ke kebun.
Seorang warga yang melihatnya kembali, menanyainya dengan penuh keheranan. Tidak biasanya perempuan tua itu balik begitu cepat. Biasanya ia akan berjalan ke kebun dan mondar-mandir sampai siang tiba.
Mengumpulkan kelapa-kelapa yang jatuh, kayu bakar, biji-biji kopi dari musim kopi yang telah lama berlalu—barangkali saja ada yang belum menjadi tunas, satu dua biji kemiri, atau jambu mete ketika tiba musimnya.
Dan warga itu mengangguk-angguk mengerti ketika perempuan tua itu dengan wajah ketakutan menunjuk-nunjuk langit.
Di utara, anak-anak sebentar kemudian kembali riuh. Rasa takut lebih cepat menghilang dari diri mereka. Beda dengan orang dewasa. Di setiap berugak, kini mereka mulai menerka siapa gerangan yang telah mati.
Sepasang suami istri yang tinggal di dekat tempat anak-anak itu bermain begitu saja mengingat keluarga dan kenalan yang tinggal jauh dari mereka.