Bayangan Maq Gomboh terus memenuhi kepalanya ketika ia mengambil air yang baru untuk mengasah, dan sepanjang ia menggerakkan maju mundur parangnya.
Seluruh warga yang merasa telah diselamatkan dari nasib buruk kembali melanjutkan kehidupan mereka.
Tuak-tuak disiapkan dan tanah-tanah dicangkul untuk mencari gayas. Para pedagang datang dan ikan-ikan yang telah menampung telur-telur lalat beralih tangan.
Ketenangan itu hanya bertahan sehari, setelahnya rusak lagi ketika pekik gagak terdengar kembali di atas rumah-rumah para warga, terdengar sangat mendesak.
“Siapa mati lagi?” kata salah seorang, suaranya tegang.
Para warga diam di rumah mereka, tak seorang pun berani keluar. Pekik gagak semakin sering terdengar dan lama-kelamaan seperti menyampaikan pesan hanya untuk mereka.
Mereka menjadi takut untuk melakukan apa pun. Mula-mula hanya dua ekor gagak dan mengawasi mereka di dahan randu yang tumbuh menjulang di utara kampung.
Kemudian semakin banyak gagak yang muncul dan suara mereka memekik tiada henti. Seluruh warga dilanda ketakutan yang semakin menjadi-jadi.
Kematian bukan hanya dirasakan mengintip dari lubang-lubang dinding, tetapi juga terasa berdiri persis di depan hidung mereka. ***
Catatan:
Gayas: Ulat yang bersarang di tanah dan sering dimakan sebagai teman minum tuak.
Berugak: Bangunan berupa panggung terbuka dengan empat atau enam tiang beratap berbentuk seperti lumbung.
Arianto Adipurwanto lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.