“Maq Gomboh sakit, astaga,” kata salah seorang dengan keras, seolah hendak memberitahu seluruh isi kampung.
“Saya mimpi jelek dari kemarin, mimpi gigi saya yang depan ini copot,” timpal warga yang lain sambil berusaha memegang gigi kotornya dengan telunjuk dan ibu jari sampai kata-katanya terdengar tidak begitu jelas.
“Saya mimpi pohon enau di sungai itu tumbang.”
“Ya, kemarin saya lihat banyak orang di rumahnya.” Warga ini baru saja datang. Rumahnya berada di ujung kampung. Begitu mendengar pekik gagak tadi, ia langsung berjalan pergi dari rumahnya.
Setiap saat ia selalu merasakan dorongan untuk berbicara dan ia harus menemukan alasan yang tepat untuk berkunjung ke rumah tetangga jika tidak ingin digunjingkan mulut-mulut pedas tukang gosip di kampung.
Nama Maq Gomboh bukan hanya disebut oleh mereka. Tetapi sebagian besar orang di kampung. Mereka percaya telah terjadi sesuatu pada laki-laki itu.
Mereka meyakini hidup Maq Gomboh tidak akan lama. Gagak-gagak itu telah mencium kematiannya dan tidak sabar menyampaikan kepada semua orang.
“Sudah lelah,” kata salah seorang warga. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah menyampaikan hal yang jauh lebih banyak ketimbang dua kata yang baru saja ia ungkapkan. Ia hendak mengatakan bahwa Maq Gomboh sebentar lagi pasti akan mati. Pasti.
Maq Gomboh yang mereka bicarakan tinggal di kampung sebelah. Sakitnya telah bertahun-tahun. Pelan-pelan badannya membengkak. Perutnya juga semakin besar dan terakhir seperti akan meletus.
Bau busuk menguar terus dari tubuhnya. Banyak yang berkata bau busuk itu tercium dari seluruh penjuru kampung.
Berbagai dukun telah didatangi. Kebun begitu luas terjual sedikit demi sedikit untuk berobat. Hari demi hari berhasil dilewati dengan guyuran obat dari berbagai tempat.