Ada juga seorang dokter yang datang. Laki-laki berkumis tebal dan mengaku telah menyelamatkan begitu banyak orang dari lubang kematian. Ia membawa alat suntik, dan memasukkan obat yang sangat mirip air putih ke dalam tubuh si sakit.
Bukan hanya mengobati Maq Gomboh, ia juga berkeliling mengobati tangan-tangan melepuh bekas bekerja seharian, sakit encok dan kepala, selalu dengan suntikan cairan itu.
Melihat mulut tebal hitam laki-laki itu berkomat-kamit pelan sebelum menusukkan jarumnya, para warga merasa yakin ia bukanlah laki-laki sembarangan.
Dan meski tak seorang pun benar-benar telah merasa sembuh lantaran cairan mirip air putih itu, para warga tetap membiarkan diri mereka ditusuk di berbagai titik dan merasa bangga karena rasa sakit yang dikatakan sang dokter hanya terasa seperti gigitan seekor semut.
“Tanah begitu luas habis tetap juga mati,” kata salah seorang yang sangat yakin Maq Gomboh telah mati.
Para warga setuju. Tanah laki-laki itu membentang dari satu lembah ke lembah lain. Hampir seluas kampung mereka.
Mereka yakin sakit bengkak perut seperti yang dialami Maq Gomboh tidak akan dapat disembuhkan. Sia-sia menjual tanah yang seharusnya bisa diwariskan kepada anak cucu.
Seorang warga datang tergesa-gesa dari selatan dengan wajah penuh keringat dan tampak sangat tegang. Meskipun tidak mendengar pembicaraan sebelumnya ia tiba-tiba saja berkata, “Maq Gomboh mungkin, ya.”
Anak-anak di ujung utara melihat para warga berkumpul dan langsung memutuskan untuk mendekat juga. Mereka mengganggu pembicaraan orang dewasa dengan terus-menerus menyela.
Bentakan dan dampratan terlontar semakin sering tetapi mereka tidak akan dapat dihentikan dengan cara apa pun. Mereka menguping pembicaraan dan dengan segera mendapat kesimpulan.