Pekik Gagak

CERPEN ARIANTO ADIPURWANTO

“Maq Gomboh mati,” kata salah seorang dan kemudian dengan segera yang lain ikut berteriak. “Maq Gomboh mati! Maq Gomboh mati!” Mereka berlari-lari seolah tengah mengabarkan kepada seluruh isi kampung.

Sepasang suami istri yang tadi tengah mengenang kampung lama mereka langsung menghentikan pembicaraan. Mereka kaget mendengar nama Maq Gomboh.

Pembicaraan serupa tentang laki-laki itu terdengar lagi. Sakit yang membuatnya bengkak dan bau busuknya yang memenuhi langit kampung. Tanahnya yang terjual pelan-pelan untuk mengobati sakitnya. Usaha sia-sianya untuk menjauh dari kematian.

“Noh, buat apa kita susah-susah. Itu Maq Gomboh habis tanahnya untuk berobat toh juga tetap mati.”

“Ya, kita perlu buat makan saja.”

“Ya, nanti juga kita akan mati. Harta ndak dibawa mati.”

Mereka saling menimpali seakan sebentar lagi akan terlibat dalam pertengkaran hebat. Sang istri turun dari berugak dan melihat ke tempat para warga berkumpul.

Sang suami ikut turun dan melihat juga ke tempat yang sama. Anak-anak berlarian, berteriak-teriak. Tadinya para warga telah berusaha menghentikan mereka. “Maq Gomboh belum mati Maq Gomboh belum mati,” lengking mereka.

Tapi tidak berguna. Anak-anak itu tidak bisa dihentikan. Semakin dilarang akan semakin menggila.
Teriakan itu terdengar oleh perempuan tua yang kini tengah duduk di pintu.

Tadinya ia tidak percaya dengan berita itu. Kepada seorang laki-laki yang lewat di depan rumahnya hendak pergi menyadap nira, ia bertanya, “Maq Gomboh mati?”

Laki-laki itu berhenti, memandang si penanya sebentar sebelum berbicara. “Ya, dia mati tadi malam,” jawabnya. Lalu pergi.

Seketika perempuan tua itu merasa lega. Ia bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi ke kebun. Seolah telah ada kesepakatan, laki-laki yang tadi mengasah parang, dan berhenti karena kabar buruk akan membuatnya luka, kini memutuskan melanjutkan lagi kerjaannya.

Lihat juga...