Pekik Gagak

CERPEN ARIANTO ADIPURWANTO

Sang istri dengan nada sedih mulai mengingat tetangganya yang dulu pernah sangat baik padanya. Seorang laki-laki yang tinggal seorang diri setelah istrinya kabur bersama laki-laki lain.

“Masih hidup ndak dia,” gumamnya. Nyaris seperti berbicara dengan dirinya sendiri.

“Mudahan masih. Maq Genjah masih hidup ndak ya,” sahut sang suami.

“Mungkin dia sudah mati.”

“Mudahan belum. Kasihan.”

“Kalau kita di sana, kita juga sudah mati.”

“Semua mati di sana itu.”

Mereka berbicara saling menimpali seolah tengah mendebatkan sesuatu yang tidak kunjung dapat disepakati. Selalu ada sebab yang membuat mereka memulai pembicaraan tentang kampung lama mereka.

Kesusahan hidup yang mencekik membangkitkan pengalaman pahit tatkala seorang laki-laki tiba-tiba datang membawa kelewang dan memaksa mereka pergi saat itu juga. Tanpa alasan. Sama sekali.

Tetapi, pada saat-saat tertentu, terutama ketika mendengar kabar satu-per satu tetangga mereka mati, mereka akan merasa sangat beruntung telah pergi cepat dari kampung itu.

“Untung kita pergi, kalau ndak kita sudah mati!” kata sang istri, selalu. Ia akan mengulang-ulang kata-katanya kepada suaminya, tetangga, dan bahkan kepada dirinya sendiri ketika ia mengetahui bekas tetangganya mati dengan cara yang sangat mengenaskan.

Ketika suara burung gagak terus memekik begitu dekat, sepasang suami istri ini sangat yakin gagak itu tengah menyampaikan sebuah kabar duka. Warga yang lain pun begitu.

Mereka mulai mengingat-ingat keluarga mereka yang tengah sakit keras atau menjalani hidup begitu miskin sampai-sampai kematian dapat kapan saja merenggut mereka.

Di rumah reot dekat rumah sepasang suami istri, beberapa warga berkumpul dan mulai berbicara dengan menggebu-gebu.

Lihat juga...