Garep

CERPEN WARDIE PENA

HAWA panas masih menyelimuti Kampung Waru. Kampung yang terletak di kaki Gunung Semparu itu telah lima tahun dilanda kekeringan. Padahal, tidak biasanya daerah itu mengalami kemarau berkepanjangan. Karena lokasinya yang terletak di dataran tinggi, intensitas curah hujan cukup tinggi.

Namun, kini hujan seakan tak sudi menyapa tempat itu lagi. Tak pernah sekali pun hujan turun selama lima tahun terakhir. Awan pekat hanya sesekali datang dan bergelayutan mengitari pemukiman lalu kembali bergeser ke arah lain.

Air sungai sudah mengering. Air sumur kian surut meski berkali-kali warga mengeruk atau memperdalam sumur mereka. Waduk yang terletak di ujung kampung yang selama ini diandalkan untuk mengairi sawah ladang pun tak dapat dijadikan tumpuan harapan.

Kondisi itu membuat banyak tanaman musnah. Tanah menjadi kering kerontang dan retak-retak. Hewan ternak juga tak sedikit yang mati kelaparan dan kepanasan. Warga desa saling berebutan air bersih jika suatu waktu datang bantuan dari pemerintah kabupaten.

Meski mengharapkan bantuan penyaluran air bersih itu tak ubahnya seperti memaksa agar mata mampu melihat telinga yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan bercermin.

Selain lokasi yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, jalan sempit yang sudah seperti sungai kering karena serakan bebatuan, membuat pemerintah jadi enggan menyambangi tempat itu.

“Aku sudah bilang sejak awal bahwa Kiman itu tidak bersalah,” ucap seorang tetua kampung Waru, Oak Tede, kepada para warga kampung.

Ia menjadi semakin yakin, bahwa bala ini merupakan akibat kutukan ritual garep yang telah menelan nyawa Kiman lima setengah tahun silam.

Lihat juga...